18 May 2007

Solidarity Cultur

Oleh : Noorhalis Majid

Hampir disetiap kampung ditemukan rukun kematian, setidaknya itulah yang saya temui setiap kali pindah tempat tinggal. Ketua RT atau tetuha masyarakat menawarkan setiap warga barunya untuk bergabung dalam rukun kematian. Sekarang ini rukun kematian berkembang sedemikian rupa, tidak sekedar mengurus prosesi penyelengggaraan jenazah dengan segala kebutuhannya, tetapi juga mengelola sumbangan wajib untuk keluarga yang meninggal sebagai solidaritas sesama warga. Anggota rukun kematian wajib membayar iuran yang besarnya ditentukan dan dibayar setiap kali ada warga meninggal. Kalau dalam bulan itu ada beberapa orang yang meninggal maka sejumlah itu kali pembayaran dilakukan. Pembayaran dilakukan pada saat kegiatan melawat, biasanya seorang pengurus menunggu pada suatu meja dan mencatat pada kartu iuran yang dibayar oleh anggota. Hasil iuran yang dikumpulkan disumbangkan kepada keluarga yang meninggal dunia. Solidaritas warga tentu tidak sebatas pada pembayaran iuran, diluar dari p ada itu sejak dulu simpatik dan perhatian terhadap warga yang sedang berduka diungkapkan dalam berbagai bentuk, termasuk terlibat dalam seluruh proses penyelenggaraan jenazah.

Bila seseorang sering berpindah tempat tinggal maka bisa dipastikan akan menjadi anggota dari beberapa rukun kematian. Hal tersebut bukanlah masalah, karena rukun kematian tidak berorientasi bisnis, semata-mata solidaritas sesama warga meringankan duka cita anggota warga.

Rukun kematian adalah bentuk solidaritas yang menjadi kultur di masyarakat banjar. Keberadaannya sudah sejak lama, sejak dahulu rukun kematian ada disetiap kampung. Akan tetapi mengalami perkembangan dengan sebuah manajemen pengelolaan dana yang bersumber dari iuran wajib baru kira-kira pada kurun waktu awal 80-an. Setidaknya sebelum tahun 80-an saya tidak pernah mendengar pengumpulan iuran wajib pada rukun kematian. Tidak diketahui secara pasti apakah perkembangan model solidaritas kultural seperti ini menduplikasi model asuransi kematian yang sering ditawarkan berbagai perusahaan asuransi. Dilihat dari sistemnya maka boleh jadi ada beberapa kemiripan, terutama dalam hal solidaritas untuk berbagi resiko dari setiap anggota yang terlibat, walaupun cara pengelolaannya masih tradisional.

Kultur solidaritas seperti ini adalah sebuah potensi yang menarik untuk dikembangkan dalam rangka memupuk bentuk solidaritas lainnya. Bagaimana misalnya selain rukun kematian juga dikembangkan 'rukun pendidikan' dan 'rukun kesehatan'?. Karena rasa simpatik dan rasa solider semestinya dapat ditujukan pada hal-hal lain yang juga layak untuk diberikan perhatian. Pendidikan dan kesehatan hingga saat ini belum dapat dijawab oleh pemerintah. Ia masih menjadi barang mahal dan tidak jarang membuat masyarakat menjadi bangkrut dibuatnya. Pendidikan bermutu hanya didapat dari biaya yang mahal, begitu juga dengan kesehatan, rumah sakit dan obat hanya bagi orang kaya. Tidak ada kata gratis bagi kesehatan. Karena itu dengan sinis orang berkata bahwa "orang miskin dilarang sekolah dan berobat".

Karena pemerintah tidak dapat memberikan jawaban terhadap sektor yang sangat penting ini maka mayarakat melalui sebuah 'rukun', tentu dapat mengupayakannya. 'rukun' adalah bentuk organisasi masyarakat sipil yang sangat tradisional tetapi menyimpan potensi solidaritas yang sangat besar. Hanya dengan berorganisasilah masyarakat dapat melawan kealpaan pemerintah menunaikan tugas-tugas wajibnya, dan melawan arogansi kekuatan modal yang mendominasi hajat hidup masyarakat banyak. Pendidikan dan kesehatan adalah hajat hidup masyarakat yang telah dikuasai pasar dan pemerintah membiarkan masyarakat bertarung dengan kekuatan pasar.

Bila kesatuan 'rukun' yang menyimpan potensi solidaritas dikembangkan dalam menjawab problem dasar masyarakat yaitu pendidikan dan kesehatan, maka pastilah satu kekuatan yang sangat luar biasa. Mari coba kita gagas 'rukun pendidikan' dan 'rukun kesehatan' sebagai pengembangan 'rukun kematian' yang sudah berakar dalam masyarakat kita. Bersamaan itu menjadi suatu aksi kritik tentang kealpaan atas tugas wajib pemerintah untuk menyediakan pendidikan dan kesehatan gratis bagi warganya.

Manajemen Sebuah 'Rukun'.

Potensi dasar yang tertanam dalam 'rukun kematian' menjadi modal awal mengembangkan 'rukun pendidikan' dan 'rukun kesehatan'. Tinggal sasaran dan perhatiannya yang digeser dengan membenahi manajemen pengelolaan. Bila sebelumnya penyelenggaraan jenazah sebagai perkara wajib yang harus ditangani oleh warga masyarakat, maka mulailah pula menempatkan pendidikan dan kesehatan sebagai hal wajib yang harus diurus secara bersama oleh warga. Mulailah mengasah duka cita dan keprihatinan bersama terhadap warga yang tidak dapat menyekolahkan anak atau membiarkan anggota keluarganya sakit karena tidak ada biaya. Mulailah menempatkan pendidikan dan kesehatan sebagai masalah publik yang harus ditangani secara bersama dan tidak membiarkan warga bergelut menyelesaikannya secara sendiri-sendiri. Dan memang pendidikan serta kesehatan adalah masalah publik, karena bila banyak warga yang tidak dapat sekolah maka dapat dipastikan akan memberi warna bagi lingkungan masyarakat sekitar. Demikian haln ya dengan kesehatan, pola hidup dan lingkungan tercermin dari hidup sehat dari segenap warga dalam komunitas tersebut, karenanya harus menjadi perhatian bersama.

Bila solidaritas kolektif tersebut sudah tumbuh dan tertanam maka mulailah beranjak pada manajemen pengelolaan. Tentunya diawali dengan forum warga yang mampu memetakan potensi rawan pendidikan dan kesehatan dilingkungannya. Sedikit berbeda dengan rukun kematian, maka dalam rukun pendidikan dan kesehatan solidaritas dapat dilakukan secara subsidioritas. Artinya, warga yang mampu dapat memberi subsidi bagi yang tidak mampu dan besar iuran dapat ditentukan secara bertingkat sesuai kemampuan anggota warga masyarakat. Bantuan ditentukan berdasarkan hasil pemetaan potensis rawan pendidikan dan kesehatan, diharapkan dapat mendorong solidaritas sesama warga.

Solidaritas dalam pendidikan seperti ini bukanlah barang baru bagi masyarakat banjar. Dahulu biaya pendidikan juga sudah ditangani oleh warga yang mampu dilingkungannya bila ada orang tua tidak mampu sementara sang anak memiliki potensi. Misalnya Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam pendidikannya yang panjang di tanah Arab biayanya berasal dari para saudagar dan sultan pada waktu itu. Tradisi memberi subsidi biaya pendidikan kepada warga sekampung juga dilakukan oleh para pedagang Nagara yang berada di pasar Ujung Murung dengan cara memberikan pekerjaan (menjualkan barang dagangan) bagi para pelajar yang melanjutkan pendidikan di Banjarmasin. Walaupun belakangan solidaritas pendidikan seperti ini mulai menurun dan hampir tidak terdengar orang sekampung memberikan bantuan bagi anak berprestasi dikampungnya untuk melanjutkan pendidikan. Bahkan saudara dekatpun sudah mulai berkurang memberikan perhatian bagi saudara lainnya yang tidak mampu dalam pendidikan. Terkecuali hanya sekedar menjadi tempat tinggal selama melanjutkan pendidikan dan itupun sudah mulai langka.

Hal lainnya dalam manajemen, mulailah menempatkan pendidikan dan kesehatan sebagai investasi sehingga berorientasi jangka panjang. Warga yang sukses dari upaya rukun pendidikan misalnya dapat membantu warga lainnya untuk keluar dari problem pendidikan. Selain itu secara swadaya melalui sebuah 'rukun' dapat dilakukan beberapa program pendidikan alternatif termasuk dalam hal ini pendidikan keagamaan yang biasa ditangani oleh warga sekitar dalam bentuk TK atau TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an). Juga fasilitas kesehatan alternatif yang dapat memberikan bantuan awal bagi warga dalam penanganan kesehatan.

Manajemen dalam pengertian adminstrasi dapat disesuaikan dalam rangka kemudahan sistem dan memenuhi prinsif transparansi serta akuntabel. Sehingga dengan itu tidak terjadi kontra produktif dengan semangat solidaritas yang terus dibangun. Kemudahan, keterbukaan dan kepercayaanlah yang menjadi prinsip manajemen dan semua ditujukan untuk pengembangan kultur solidaritas.

Mulailah bergerak dari sebuah 'rukun kecil' untuk menjawab hal-hal besar dan fundament bagi bangsa dan negara ini. Karena negara sudah mulai lupa dengan tugas dan tanggungjawabnya dalam rangka memberikan kesejahteraan bagi segenab warga. 'Rukun' dapat menjadi institusi masyarakat sipil dan alat kontrol bagi segala dominasi dan kesewenangan.!. @.


0 comments: