25 June 2007

38,4 Juta Penduduk Miskin

Oleh: Noorhalis Majid

Mata Banua, dihalaman pertama, Selasa 19 Juni 2007 mengangkat berita tentang masih tingginya angka penduduk miskin di Indonesia. Disebutkan oleh kepala BKKBN mencapai 38,4 juta penduduk dibawah garis kemiskinan, jumlah tersebut sama dengan 18,2 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Pemerintah punya strategi dalam mengatasi masalah ini, yaitu dengan cara mengurangi angka kelahiran melalui keluarga berencana. Dengan rendahnya angka kelahiran maka laju jumlah penduduk dapat ditahan sehingga pemenuhan kebutuhan dasar yang menjadi tanggung jawab negara/pemerintah berupa pendidikan, kesehatan, perumahan dan tenaga kerja juga dapat dipenuhi.


Menyimak berita tersebut, mungkin banyak orang bertanya dan termasuk juga saya, kenapa ditengah alam yang begitu kaya dengan sumber dayanya, masih banyak penduduk miskin?. Tulisan yang menjawab pertanyaan ini sangat banyak, bahkan sudah terlampau banyak, tetapi tetap saja angka kemiskinan tinggi. Sering orang mengatakan bahwa semua ini disebabkan oleh dua hal, pertama ada persoalan struktural yang menyebabkan kemiskinan terjadi. Sistem kita, aturan-aturan kita, kebijakan-kebijakan kita, secara terencana menciptakan kemiskinan itu sendiri. Dalam sistem dan aturan yang bermasalah itu masih pula menyimpan penyakit korupsi yang sangat kronis, sehingga pemerataan dan keadilan tidak pernah tercipta, semua terkorupsi dan hanya terbagi pada segelintir penguasa dan pengusaha yang memiliki akses politik atau kekuasaan.

Pendapat lainnya mengatakan bahwa kemiskinan terjadi karena kultur yang hidup di masyarakat mendorong terjadinya kemiskinan itu. Mulai dari kultur yang menyangkut kinerja, etos kerja, pendidikan, jenis profesi, gender dan lain sebagainya. Sehingga ada yang berpendapat sekalipun alamnya melimpah sumber daya, tetapi jika kulturnya memang malas atau tidak kreatif maka tidak akan membawa perbaikan bagi masyarakat tersebut. Dan tentu akan lebih parah lagi bila persoalan pada tingkat struktural di tambah dengan persoalan pada tingkat kultural menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan. Kiranya begitulah problem kita, sebuah tali-temalin antara struktural dan kultural yang tidak terpisahkan lagi dan celakanya kita terus mencari kambing hitam pada hal-hal lain diluar itu, padahal bisa jadi hal lainnya itu hanya merupakan ikutan dari problem dasar struktural dan kultural yang tidak tuntas ditangani.



Jalan Keluar?

Bagaimanakah jalan keluarnya? Mungkin tidak ada formula yang dapat menyelesaikan persoalan ini secara instand. Semua harus dilakukan secara bertahap, yang bersifat struktural harus dibenahi secara perlahan dan bertahap, begitu juga yang kultural. Sering orang mengatakan awali dari yang struktural maka yang kultural akan ikut, namun sebaliknya juga mengatakan kulturlah yang membentuk struktur. Karenanya agar tidak terlalu panjang maka keduanya harus dibenahi, begitu pula dengan yang sudah menggumpal tali-temalinya, harus diurai secara cermat.


Ada pendapat yang cukup ekstrim, pendapat ini mengatakan bahwa kemiskinan terjadi karena alat produksi yang dimiliki rakyat sudah tidak kuasainya lagi. Alat produksi itu berupa apa saja?, dalam ekonomi klasik alat produksi itu terdiri dari tanah, modal, tenaga kerja dan keahlian. Nah, alat produksi ini sudah dikuasai kelompok kapital atau pemilik modal besar, sehingga rakyat tidak memiliki apa-apa. Karena itu agar rakyat tidak miskin maka alat produksi tersebut harus dikembalikan kepada rakyat. Tanah yang selama ini dikuasai oleh kelompok kapital dalam bentuk perkebunan besar atau pengusahaan hutan, harus dikembalikan pada rakyat untuk digarap, sehingga mereka bukan lagi sebagai buruh tani melainkan menjadi pengusaha tani. Demikian halnya dengan sektor-sektor industri, tempatkan tenaga kerja sebagai pemodal, caranya mungkin dengan mengkompersi sebagian dari gazinya menjadi modal atau saham perusahaan. Dengan demikian para pekerja pada suatu waktu akan menjadi pemilik perusahaan tersebut. Pola seperti ini mendorong kinerja dan tanggung jawab pekerja untuk memajukan perusahaan, karena mereka bekerja di perusahaan yang mereka miliki sendiri, sama dengan para petani yang menggarap lahannya sendiri dan bukan sebagai upahan atau buruh tani.


Pendek kata, pendapat ini merekomendasikan untuk menguasai alat produksi. Alat produksi harus menjadi milik rakyat, bukan milik segelintir orang kaum pemodal. Dan pemerintah harus mendorong serta mengupayakan alat produksi kembali di kuasai rakyat sehinga rakyat berdaulat dan kemakuran bisa dicapai.


Dengan malu-malu pemerintah kita memang mulai mengakui pendapat yang cukup ekstrim ini, dan nampak dalam skala kecil mulai menerapkan di beberapa bagian. Misalnya proyek pembaharuan agraria yang akan mengembalikan tanah kepada petani, adalah sebuah angin segar bagi rakyat yang selama ini menjadi buruh tani. Begitu juga di wilayah industri, sudah ramai dikenalkan istilah plasma atau perkebunan inti rakyat, yang menempatkan pekerja dan tanah yang dimilikinya sebagai bagian dari alat produksi perusahaan. Walaupun masih sangat kecil dan jauh dari yang diharapkan, tetapi pengakuan terhadap pendapat yang ekstrim ini setidaknya memberi alternatif pemecahan masalah tentang kemiskinan.

Tidak mudah melaksanakan semua pendapat ekstrim tersebut, karena kelompok pemodal (kapital) juga tidak akan rela kekuasaannya berkurang. Mereka selalu saja bersikukuh bahwa subyeknya itu adalah pemodal, diluar dari pada itu adalah obyek. Karenanya aturan didasarkan pada kekuatan modal, siapa yang mampu membayar maka dialah yang menguasai segalanya, dialah pelaku. Akibatnya selalu saja terjadi tarik menarik kekuatan dan bandulnya ada pada pemerintah atau negara. Peran pemerintah/negara diharapkan seimbang, dia menjadi fasilitator antara modal dan rakyat, karena keduanya dibutuhkan dalam sebuah tatanan negara. Sayangnya acap kali pemerintah/negara juga dapat dibeli oleh pemodal dan lahirkan kebijakan yang berpihak kepada pemodal, dan itu yang terjadi selama ini pada pemerintah kita, akibatnya rakyat tersudut dan termarjinalkan.

Ahli politik membahasakan tentang kondisi dengan mengatakan bahwa 'bila disatu negara orang lebih mudah menjadi pengusaha dari pada menjadi politikus maka pengusaha akan membeli kebijakan politik, sebaliknya bila orang lebih mudah menjadi politikus maka pengusaha akan mudah dibeli oleh para politisi'. Sekarang ini antara pengusaha dan politisi sedang besatu padu dan berangkulan mesra, dan tidak sempat menoleh rakyat sebagai bagian yang harus diperhatikan. Karenanya politik, kekuasaan dan modal harus menjadi perhatian bagi rakyat, jangan sampai semua itu menindas rakyat. Karenanya pendapat ekstrim diatas jangan semata perwujudannya diharapkan pada pemerintah/negara.

Rakyat sendiri harus memiliki agenda untuk menguapayakannya. Caranya dengan membangun organisasi rakyat yang kuat dan solid. Mulailah membangun organisasi petani, buruh, miskin kota, dan lain sebagainya. Mulailah membangun jaringan kerja satu sama lainnya. Mulailah mencari issue bersama yang dapat menyatukan semua kekuatan, dan mulailah untuk saling percaya dan saling menguatkan satu sama lainnya.

Setidaknya dengan adanya organisasi rakyat maka akan ada posisi tawar antara pemerintah dan kelompok pemodal. Syukur bila mampu mengembalikan posisi pemerintah sebagai penengah dan fasilitator sehinga memaksanya untuk berpihak pada rakyat. Syukur bila organisasi rakyat tersebut juga memiliki agenda politik sehingga ranah politik yang selama ini dikuasai dan didikte pemodal dapat direbut bagi agenda-agenda rakyat. Akhirnya, tidak ada cara lain selain "rakyat harus bersatu padu..!"

18 May 2007

Solidarity Cultur

Oleh : Noorhalis Majid

Hampir disetiap kampung ditemukan rukun kematian, setidaknya itulah yang saya temui setiap kali pindah tempat tinggal. Ketua RT atau tetuha masyarakat menawarkan setiap warga barunya untuk bergabung dalam rukun kematian. Sekarang ini rukun kematian berkembang sedemikian rupa, tidak sekedar mengurus prosesi penyelengggaraan jenazah dengan segala kebutuhannya, tetapi juga mengelola sumbangan wajib untuk keluarga yang meninggal sebagai solidaritas sesama warga. Anggota rukun kematian wajib membayar iuran yang besarnya ditentukan dan dibayar setiap kali ada warga meninggal. Kalau dalam bulan itu ada beberapa orang yang meninggal maka sejumlah itu kali pembayaran dilakukan. Pembayaran dilakukan pada saat kegiatan melawat, biasanya seorang pengurus menunggu pada suatu meja dan mencatat pada kartu iuran yang dibayar oleh anggota. Hasil iuran yang dikumpulkan disumbangkan kepada keluarga yang meninggal dunia. Solidaritas warga tentu tidak sebatas pada pembayaran iuran, diluar dari p ada itu sejak dulu simpatik dan perhatian terhadap warga yang sedang berduka diungkapkan dalam berbagai bentuk, termasuk terlibat dalam seluruh proses penyelenggaraan jenazah.

Bila seseorang sering berpindah tempat tinggal maka bisa dipastikan akan menjadi anggota dari beberapa rukun kematian. Hal tersebut bukanlah masalah, karena rukun kematian tidak berorientasi bisnis, semata-mata solidaritas sesama warga meringankan duka cita anggota warga.

Rukun kematian adalah bentuk solidaritas yang menjadi kultur di masyarakat banjar. Keberadaannya sudah sejak lama, sejak dahulu rukun kematian ada disetiap kampung. Akan tetapi mengalami perkembangan dengan sebuah manajemen pengelolaan dana yang bersumber dari iuran wajib baru kira-kira pada kurun waktu awal 80-an. Setidaknya sebelum tahun 80-an saya tidak pernah mendengar pengumpulan iuran wajib pada rukun kematian. Tidak diketahui secara pasti apakah perkembangan model solidaritas kultural seperti ini menduplikasi model asuransi kematian yang sering ditawarkan berbagai perusahaan asuransi. Dilihat dari sistemnya maka boleh jadi ada beberapa kemiripan, terutama dalam hal solidaritas untuk berbagi resiko dari setiap anggota yang terlibat, walaupun cara pengelolaannya masih tradisional.

Kultur solidaritas seperti ini adalah sebuah potensi yang menarik untuk dikembangkan dalam rangka memupuk bentuk solidaritas lainnya. Bagaimana misalnya selain rukun kematian juga dikembangkan 'rukun pendidikan' dan 'rukun kesehatan'?. Karena rasa simpatik dan rasa solider semestinya dapat ditujukan pada hal-hal lain yang juga layak untuk diberikan perhatian. Pendidikan dan kesehatan hingga saat ini belum dapat dijawab oleh pemerintah. Ia masih menjadi barang mahal dan tidak jarang membuat masyarakat menjadi bangkrut dibuatnya. Pendidikan bermutu hanya didapat dari biaya yang mahal, begitu juga dengan kesehatan, rumah sakit dan obat hanya bagi orang kaya. Tidak ada kata gratis bagi kesehatan. Karena itu dengan sinis orang berkata bahwa "orang miskin dilarang sekolah dan berobat".

Karena pemerintah tidak dapat memberikan jawaban terhadap sektor yang sangat penting ini maka mayarakat melalui sebuah 'rukun', tentu dapat mengupayakannya. 'rukun' adalah bentuk organisasi masyarakat sipil yang sangat tradisional tetapi menyimpan potensi solidaritas yang sangat besar. Hanya dengan berorganisasilah masyarakat dapat melawan kealpaan pemerintah menunaikan tugas-tugas wajibnya, dan melawan arogansi kekuatan modal yang mendominasi hajat hidup masyarakat banyak. Pendidikan dan kesehatan adalah hajat hidup masyarakat yang telah dikuasai pasar dan pemerintah membiarkan masyarakat bertarung dengan kekuatan pasar.

Bila kesatuan 'rukun' yang menyimpan potensi solidaritas dikembangkan dalam menjawab problem dasar masyarakat yaitu pendidikan dan kesehatan, maka pastilah satu kekuatan yang sangat luar biasa. Mari coba kita gagas 'rukun pendidikan' dan 'rukun kesehatan' sebagai pengembangan 'rukun kematian' yang sudah berakar dalam masyarakat kita. Bersamaan itu menjadi suatu aksi kritik tentang kealpaan atas tugas wajib pemerintah untuk menyediakan pendidikan dan kesehatan gratis bagi warganya.

Manajemen Sebuah 'Rukun'.

Potensi dasar yang tertanam dalam 'rukun kematian' menjadi modal awal mengembangkan 'rukun pendidikan' dan 'rukun kesehatan'. Tinggal sasaran dan perhatiannya yang digeser dengan membenahi manajemen pengelolaan. Bila sebelumnya penyelenggaraan jenazah sebagai perkara wajib yang harus ditangani oleh warga masyarakat, maka mulailah pula menempatkan pendidikan dan kesehatan sebagai hal wajib yang harus diurus secara bersama oleh warga. Mulailah mengasah duka cita dan keprihatinan bersama terhadap warga yang tidak dapat menyekolahkan anak atau membiarkan anggota keluarganya sakit karena tidak ada biaya. Mulailah menempatkan pendidikan dan kesehatan sebagai masalah publik yang harus ditangani secara bersama dan tidak membiarkan warga bergelut menyelesaikannya secara sendiri-sendiri. Dan memang pendidikan serta kesehatan adalah masalah publik, karena bila banyak warga yang tidak dapat sekolah maka dapat dipastikan akan memberi warna bagi lingkungan masyarakat sekitar. Demikian haln ya dengan kesehatan, pola hidup dan lingkungan tercermin dari hidup sehat dari segenap warga dalam komunitas tersebut, karenanya harus menjadi perhatian bersama.

Bila solidaritas kolektif tersebut sudah tumbuh dan tertanam maka mulailah beranjak pada manajemen pengelolaan. Tentunya diawali dengan forum warga yang mampu memetakan potensi rawan pendidikan dan kesehatan dilingkungannya. Sedikit berbeda dengan rukun kematian, maka dalam rukun pendidikan dan kesehatan solidaritas dapat dilakukan secara subsidioritas. Artinya, warga yang mampu dapat memberi subsidi bagi yang tidak mampu dan besar iuran dapat ditentukan secara bertingkat sesuai kemampuan anggota warga masyarakat. Bantuan ditentukan berdasarkan hasil pemetaan potensis rawan pendidikan dan kesehatan, diharapkan dapat mendorong solidaritas sesama warga.

Solidaritas dalam pendidikan seperti ini bukanlah barang baru bagi masyarakat banjar. Dahulu biaya pendidikan juga sudah ditangani oleh warga yang mampu dilingkungannya bila ada orang tua tidak mampu sementara sang anak memiliki potensi. Misalnya Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam pendidikannya yang panjang di tanah Arab biayanya berasal dari para saudagar dan sultan pada waktu itu. Tradisi memberi subsidi biaya pendidikan kepada warga sekampung juga dilakukan oleh para pedagang Nagara yang berada di pasar Ujung Murung dengan cara memberikan pekerjaan (menjualkan barang dagangan) bagi para pelajar yang melanjutkan pendidikan di Banjarmasin. Walaupun belakangan solidaritas pendidikan seperti ini mulai menurun dan hampir tidak terdengar orang sekampung memberikan bantuan bagi anak berprestasi dikampungnya untuk melanjutkan pendidikan. Bahkan saudara dekatpun sudah mulai berkurang memberikan perhatian bagi saudara lainnya yang tidak mampu dalam pendidikan. Terkecuali hanya sekedar menjadi tempat tinggal selama melanjutkan pendidikan dan itupun sudah mulai langka.

Hal lainnya dalam manajemen, mulailah menempatkan pendidikan dan kesehatan sebagai investasi sehingga berorientasi jangka panjang. Warga yang sukses dari upaya rukun pendidikan misalnya dapat membantu warga lainnya untuk keluar dari problem pendidikan. Selain itu secara swadaya melalui sebuah 'rukun' dapat dilakukan beberapa program pendidikan alternatif termasuk dalam hal ini pendidikan keagamaan yang biasa ditangani oleh warga sekitar dalam bentuk TK atau TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an). Juga fasilitas kesehatan alternatif yang dapat memberikan bantuan awal bagi warga dalam penanganan kesehatan.

Manajemen dalam pengertian adminstrasi dapat disesuaikan dalam rangka kemudahan sistem dan memenuhi prinsif transparansi serta akuntabel. Sehingga dengan itu tidak terjadi kontra produktif dengan semangat solidaritas yang terus dibangun. Kemudahan, keterbukaan dan kepercayaanlah yang menjadi prinsip manajemen dan semua ditujukan untuk pengembangan kultur solidaritas.

Mulailah bergerak dari sebuah 'rukun kecil' untuk menjawab hal-hal besar dan fundament bagi bangsa dan negara ini. Karena negara sudah mulai lupa dengan tugas dan tanggungjawabnya dalam rangka memberikan kesejahteraan bagi segenab warga. 'Rukun' dapat menjadi institusi masyarakat sipil dan alat kontrol bagi segala dominasi dan kesewenangan.!. @.


29 April 2007

LK3 Banjarmasin

LK3 (Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan atau Institute for Islamic and Social Studies) adalah organisasi nirlaba independent dan non partisan, yang memiliki visi “Terwujudnya masyarakat sipil yang berdaulat, mandiri dan independen”.

Kata “Islam” tercantum dalam nama organisasi memiliki sejarah khusus. Pada awal kelahiran LK3, para pendiri merasa prihatin atas kondisi umat Islam yang tertinggal secara kualitas, dan memandang perlu kelahiran sebuah organisasi yang turut mendorong perkembangan kualitas sumberdaya manusia umat Islam.

Umat Islam sebagai mayoritas dan sebagai titik perhatian dari organisasi, dimaknai bukan dalam pandangan eksklusif namun inklusif. LK3 memandang bahwa kondisi ketertinggalan umat Islam adalah karena umat Islam tidak melihat Islam secara kaffah (menyeluruh) sehingga tidak dipedomani dengan komplit. Ketika Islam dipahami dengan utuh maka ia menjadi inklusif, yang melihat kebenaran ada pada semua golongan.

Pendekatan inklusif adalah pendekatan yang sangat tidak mengedepankan Islam sebagai simbol, tapi Islam sebagai salah satu agama yang menuntun hidup teratur, berbudaya, tenggang rasa, solider dan penuh tatanan nilai luhur yang mungkin juga ada pada agama dan golongan lain di luar Islam.

Atas dasar pandangan tersebut, dalam mencapai tujuannya, LK3 menjalankan misi membangun gagasan-gagasan transformatif, mewujudkan jaringan kerja untuk mendorong perubahan sosial, serta mewujudkan kemandirian dan profesionalisme dalam melakukan kerja-kerja sosial.

Misi ini pula yang menyebabkan LK3 membuka diri bekerjasama dengan semua golongan yang berkesesuaian dengan cita-cita dan nilai-nilai yang diyakini.